JAKARTA, investortrust.id - Harga minyak mentah berjangka Brent turun US$ 3,8 (4,9%) ke posisi US$ 73,71 per barel pada Selasa (3/9/2024). Penurunan ini merupakan level terendah dalam waktu sembilan bulan belakangan.
Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) turun US$ 3,25 (4,2%) ke level US$ 70,3. Angka ini merupakan harga terendah sejak Januari lalu.
Melansir Reuters, Rabu (4/9/2024) penurunan minyak dipicu oleh pasokan minyak Libya. Kabar terakhir terdapat kesepakatan untuk menyelesaikan perselisihan yang telah menghentikan produksi dan ekspor Libya.
“Badan legislatif Libya telah setuju untuk menunjuk gubernur bank sentral baru dalam waktu 30 hari setelah pembicaraan yang disponsori PBB,” kata perwakilan dari badan-badan tersebut pada Selasa (3/9/2024).
Sebelumnya, enam insinyur mengatakan kepada Reuters bahwa ekspor minyak Libya di pelabuhan-pelabuhan utama dihentikan pada hari Senin, dan produksi dibatasi di seluruh negeri itu. Hal ini melanjutkan kebuntuan antara faksi politik saingan atas kendali bank sentral dan pendapatan minyak.
Selain itu, perusahaan minyak nasional dari negara Libya (National Oil Corporation/NOC) juga menyatakan keadaan kahar di ladang minyak The Elephant (El Feel) mulai 2 September.
NOC menyebut, total produksi menurun menjadi dari 591.000 barel per hari (bpd) pada 28 Agustus dari 959.000 barel per hari pada 26 Agustus. Sementara pada 20 Juli, produksi sekitar 1,28 juta barel per hari.
Tak hanya itu, terkait banyaknya pasokan Libya yang mungkin kembali ke pasar, harga minyak menurun karena permintaan sedang terpotong dipicu pertumbuhan ekonomi yang lamban di China, yang merupakan importir minyak mentah terbesar di dunia.
"PMI manufaktur China lebih lemah dari perkiraan selama akhir pekan kemungkinan memperburuk kekhawatiran tentang kinerja ekonomi China," kata Analis Investasi Senior Pialang XM, Charalampos Pissouros.
Sementara itu, China melaporkan pada Senin lalu bahwa pesanan ekspor turun untuk pertama kalinya dalam delapan bulan di bulan Juli dan harga rumah baru meningkat pada bulan Agustus, ini menandakan perlambatan di tahun ini.
Analis Pasar Forex, Fawad Razaqzada, mengatakan, harapan bahwa musim mengemudi AS akan mendorong harga ke tertinggi baru 2024 musim panas ini gagal terwujud.
"Fakta bahwa data terbaru tidak menunjukkan tanda-tanda percepatan permintaan impor di Cina, Eropa atau Amerika Utara menunjukkan situasi di mana pasar minyak tidak akan seketat yang diharapkan beberapa bulan yang lalu," kata Razaqzada.
|
Bertumbuh! Laba Atribusi Harita Nickle (NCKL) Rp 4,83 Triliun hingga Kuartal IIIJumat, 22 Nov 2024 |
|
Wika Beton (WTON) Lebih Moderat Tetapkan Target Kontrak Baru 2025Jumat, 22 Nov 2024 |
|
Triputra Agro (TAPG) Targetkan Netral Karbon Tahun 2036, Begini StrateginyaKamis, 21 Nov 2024 |
|
Ajarkan Emiten Cara Hitung Emisi, BEI Akan Luncurkan IDX ESG Disclosure Guidance Pada Kuartal I-2025Kamis, 21 Nov 2024 |
|
Target Indika (INDY) Raih 50% Pendapatan Non-Batu Bara Mundur Jadi 2028Kamis, 21 Nov 2024 |
Laporan Hasil Public Expose EPACJumat, 05 Jan 2024 |
Penyampaian Prospektus LUCYRabu, 03 Jan 2024 |
Laporan Hasil Public Expose PPRORabu, 03 Jan 2024 |
Penyampaian Materi Public Expose LMASRabu, 03 Jan 2024 |
Laporan Hasil Public Expose CSMIRabu, 03 Jan 2024 |
Techno Fundamental ARTOJumat, 22 Nov 2024 |
Incidental Report WIFIJumat, 22 Nov 2024 |
Techno Fundamental EMTKKamis, 21 Nov 2024 |
Incidental Report BBTNKamis, 21 Nov 2024 |
Techno Fundamental AMMNRabu, 20 Nov 2024 |